-->

Gandamana Sayembara (Drupadi Sayembara)

Hari menjelang sore, suara kenthongan yang berasal dari pusat Kraton Pancalaradya atau Cempalaradya, menarik perhatian penduduk kotaraja. Seperti yang selalu ada di setiap banjar, pada sudut halaman ada bale duwur untuk menempatkan sebuah kentongan. Dengan kentongan tersebut setiap warga mendapatkan informasi mengenai kejadian penting untuk segera ditanggapi. Ada beberapa irama kentongan yang masing-masing irama menunjukkan kejadian yang sedang berlangsung. Seperti irama khusus yang terdengar disore hari itu menandakan bahwa ada seorang gadis yang telah mengalami menstruasi atau datang bulang pertama. Artinya bahwa sang gadis tersebut telah menginjak usia dewasa, dan siap untuk dipinang seorang pria. Yang menarik perhatian bahwa suara kentongan tersebut berasal dari kotaraja. Tentunya ada gadis bangsawan yang menginjak dewasa dan siap dilamar. Lalu siapa gadis bangsawan tersebut? Akhirnya teka-teki pun terjawab bahwa Putri raja Cempalaradya tersebut adalah Dewi Durpadi, anak sulung Prabu Durpada.

Menyusul bunyi kenthongan yang menandakan bahwa masa kedewasaan Dewi Durpadi telah tiba, Prabu Durpada berencana menggelar sayembara untuk memilih dan memilah menantu yang pantas bagi pendamping Dewi Durpadi. Bagi siapa saja yang memenangkan sayembara, berhak menyunting Dewi Durpadi. Sayembara yang diadakan adalah mengangkat, menarik busur atau gendewa pusaka dan melepaskannya anak panah pada titik sasaran yang di sediakan. Sayembara terbuka bagi siapa saja dan di mana saja.

Beberapa bulan kemudian, kabar diadakannya sayembara di negara Pancalaradya telah tersebar jauh di negara-negara tetangga, bahkan sampai di seberang pulau.
Sepekan menjelang sayembara, kota raja Pancalarayadya sudah ramai oleh pendatang-pendatang dari manca nagara yang ingin mengikuti sayembara. Kesibukan kota meningkat lebih dari sepuluh kali lipat dinbanding dengan hari-hari sebelumnya.
Pada hari yang ditetapkan, para raja muda, ksatria, brahmana, para bangsawan dan rakyat kebanyakan tamplek blek penuh berjejal di alun-alun kotaraja Pancalaradya. Diantara mereka yang hadir tampaklah para Kurawa, Bima dan Arjuna, para raja seberang pulau termasuk beberapa raja dari Atasangin,
Gendewa pusaka atau busur pusaka Pancalaradya telah disiapkan di panggung kehormatan. Ukuran gandewa pusaka itu lebih besar dan lebih berat dibandingkan dengan gandewa pada umumnya. Dari ujung ke ujung gandewa tersebut tinretes emas murni, sehingga ketika ditimpa sinar matahari cahayanya gumebyar menyilaukan mata. Peserta sayembara yang dinyatakan lolos dan menang dalam sayembara adalah peserta yang mampu melepaskan anak panahnya tepat di tengah titik yang telah ditentukan.
Suasana menjadi riuh gemuruh ketika Prabu Durpada dan permaisuri mengapit dewi Durpadi naik ke atas panggung kehormatan, diikuti oleh Gandamana. Para raja dari seribu negara, sungguh terpana melihat kecantikan Dewi Durpadi secara langsung. Karena selama ini banyak diantara mereka yang melihat dan bertemu Dewi Durpadi hanya melalui mimpi.
Ditengarai dengan pemukulan gong beri sayembara pun di mulai. Satu persatu para peserta sayembara naik ke panggung dan mencoba mengangkat gandewa pusaka Pancalaradya. Beberapa peserta telah naik ke panggung kehormatan dan mencoba mengangkat gandewa pusaka. Namun hingga sampai peserta ke delapan belas baru ada empat orang yang kuat mengangkat gandewa pusaka. Namun tidak kuat menarik gendewa pusaka, apalagi untuk melepaskan anak panahnya,
Menjelang tengah hari belum ada orang yang dapat memenangkan sayembara. Satu persatu para raja dari seribu negara gagal memenangkan sayembara. Prabu Durpada dan prameswari yang didampingi Gandamana berharap cemas dalam menanti orang yang dapat memenangkan sayembara. Sedangkan Dewi Durpadi yang duduk di antara Ibunda Ratu dan Prabu Durpada menampakan raut muka yang tenang, bahkan sesekali Durpadi menebar senyum ketika ada peserta sayembara yang jatuh karena tidak kuat mengangkat gendewa pusaka.
Pada saat keraguan untuk mendapatkan pemenang sayembara menghampiri Prabu Durpada, tiba-tiba diantara orang banyak yang berjubel, melompatlah dengan ringannya seorang muda rupawan naik di atas panggung. Menilik dari pakaiannya bahwa pemuda tersebut dari golongan sudra atau rakyat biasa. Namun dengan menyakinkan seperti laiknya ksatria, ia melangkah mendekati gendewa pusaka. Diamati sejenak gendewa yang berada didepannya untuk kemudian diangkatnya. Semua mata memandang ke arah pemuda rupawan yang dengan ringannya mengangkat tinggi-tinggi gendewa pusaka. Sejenak kemudian tangan kakannya menarik tali gendewa perlahan-lahan. Maka yang terjadi gendewa ditangan kiri semakin melengkung dan melengkung dengan tajam. Anak panah telah diarahkan kesasaran. Ketegangan tampak pada setiap raut muka yang menyaksikan. Diiringi dengan detak ribuan jantug yang berdegup semakin cepat.
Namun sebelum anak panah tersebut meluncur dari gendewa pusaka, Dewi Durpadi yang berada beberapa langkah di depannya bereriak lantang katanya, “Cukup! aku tidak mau sayembara ini dimenangkan oleh seorang sudra”
Pemuda rupawan itu terkejut, dan menampakkan raut muka yang tidak senang. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Maka untuk melampiaskan kejengkelannya anak panah yang telah siap meluncur tetap dilepaskan ke titik sasaran. Dan pemuda rupawan tersebut membuktikan bahwa ia pantas memenangkan sayembara. Anak panah menancap tepat di tepat di tengah sasaran. Sorak membahana gemuruh menyambutnya. Namun apakah keberhasilannya membidikkan panah tepat sasaran ini dinyatakan sebagai pepmenang atau tidak, ia tidak peduli. Yang terutama bagi dirinya bahwa ia yang adalah seorang sudra telah membuktikan kelebihannya dibandingkan dengan raja-raja seribu negara.

Sorak membahana ribuan manusia bergemuruh. Pohon-pohon beringin dan pohon-pohon Angsana di seputar alun-alun Cempalaradya tergetar karenanya. Beberapa daunnya berguguran, mengenai orang-orang yang berada di bawahnya. Bagaikan taburan bunga untuk menghormat pemuda rupawan yang telah berhasil melepaskan anak panahnya tepat ke titik sasaran.

“Tidak! Tidak! Aku tidak mau orang ini memenangkan sayemabara!” teriak Dewi Durpadi. Namun teriakan Dewi Durpadi tenggelam oleh gelombang suara gegap gempita. Tidak ada yang mendengar dan yang memperhatikan tingkah laku Durpadi. Yang menjadi pusat perhatian adalah pemuda rupawan yang dengan meyakinkan berhasil menarik busur pusaka dan melepaskan anak panahnya tepat ke sasaran.
Pemuda rupawan tersebut semakin jumawa menjadi pusat perhatian lautan manusia yang memenuhi alun-alun. Dengan tenang pemuda itu meninggalkan panggung kehormatan. Ia tidak memperdulikan penolakan Dewi Durpadi. Baginya dapat memenangkan sayembara merupakan kebanggaan tersendiri.

Dewi Durpadi yang sebelumnya menjadi satu-satunya pusat perhatian, kini tidak lagi. Satu-satunya pusat perhatian beralih kepada pemuda rupawan. Sejak melihat pertamakali, Dewi Durpadi tidak senang kepada orang sudra tersebut. Oleh karena ketika ia naik panggung kehormatan mengangkat dan menarik busur pusaka, Dewi Durpadi telah berteriak menolaknya. Namun pemuda rupawan tersebut sengaja tidak mendengarkan teriakan Dewi Durpadi. Anak panah tetap diluncurkan dari jemarinya yang halus. Dan hasilnya anak panah menancap tepat ke sasaran.

Suasana menjadi kacau. Orang-orang yang berada jauh dari panggung kehormatan menganggap bahwa sayembara telah selesai dan di menangkan oleh si pemuda rupawan. Namun bagi peserta sayembara yang berada di dekat panggung kehormatan mengetahui dengan jelas urut-urutan peristiwa. Bahwasannya Dewi Durpadi yang dijadikan hadiah sayembara sejak awal telah menolak pemuda rupawan untuk mengikuti sayembara. Namun pemuda rupawan itu nekat tetap menarik busurnya dan melepaskan anak panahnya ke sasaran yang telah disediakan. Oleh karenanya bidikan panah yang tepat mengenai sasaran tersebut dianggap tidak sah. Dalam situasi yang kacau tersebut Arjuna menghadang pemuda rupawan yang merasa tidak bersalah, pergi meninggalkan alun-alun Pancalaradya.

“Hei Ki Sanak berhentilah!” cegat Arjuna. Pemuda rupawan tersebut berhenti, dengan masih tetap menunjukkan ketenangannya. Orang banyak mengerumuninya. Arjuna mendekatinya dan berkata

“Engkau ini siapa? telah berani membuat kacau sayembara yang digelar oleh raja besar Cempalaradya.”

“Aku tidak membuat kacau. Aku mengikuti sayembara dan berhasil,” sanggah pemuda rupawan.

“Tetapi keberhasilanmu tidak sah, karena engkau tidak diperbolehkan ikut sayembara tetapi nekat.”

“Kenapa tidak boleh, itu tidak adil”

“Karena Sang Dewi Durpadi menolak orang sudra”

“ Aku tidak peduli apakah Dewi Durpadi mau menerimaku atau menolakku. Yang penting bagiku bahwa akulah satu-satunya orang di alun-alun ini yang dapat memenangkan sayembara.

Arjuna tidak dapat menerima kata-kata pemuda rupawan yang mengatakan bahwa dirinya adalah satu-satunya orang yang dapat memenangkan sayembara. Karena sebelumnya Arjuna sangat optimis bahwa dirinyalah yang dapat memenangkan sayembara memanah. Karena semenjak wafatnya Ekalaya raja Paranggelung, satu-satunya orang yang dapat mengimbangi kemampuan Arjuna, tidak ada lagi orang yang dapat mengimbangi kesaktiannya dalam memanah. Apalagi Arjuna tahu bahwa busur pusaka negara Cempalaradya yang dibuat dari campuran besi dan tembaga tidak sembarang busur. Selain bobotnya ada kelebihan lain jika dibandingkan dengan busur-busur pusaka lainnya. Getaran enerjinya membuat orang yang mendekat tergetar hatinya. Oleh karenanya Arjuna berharap bahwa sebelum dirinya naik ke panggung sayembara belum ada orang yang mampu menarik busur pusaka. Namun perhitungan Arjuna meleset. Ada seorang pemuda rupawan yang dapat menggunakan busur pusaka dengan sempurna.

“Ki Sanak jangan dikira hanya engkaulah yang secara kebetulan mampu menarik busur pusaka dan memanahnya dengan tepat” kata Arjuna dengan nada ejekan”

Pemuda rupawan tersebut terbakar hatinya. Ia ingin menunjukkan bahwa kemampuan memanahnya tidak secara kebetulan. Maka dengan amat cepat ditarikanya busur yang ada di genggamannya mengarah ke langit.

Sebentar kemudian orang banyak yang mengerumuni tercengang dibuatnya. Ada ratusan burung sriti jatuh tertembus panah.

Arjuna yang masih muda panas hatinya, busur yang ada pada genggamannya ditarik kuat-kuat untuk kemudian dilepaskan. Orang-orang dialun-alun semakain takjub menyaksikan kehebatan panah Arjuna. Ribuan anak panah keluar dari busur Arjuna. Suaranya seperti kombang mengarah ke pohon angsana di pinggir alun-alun. Sebentar kemudian pohon itu gundul tinggal rantingnya. Sementara daunnya berguguran ke tanah.


Hari semakin siang, sinar matahari bertambah panas. Lautan manusia di alun-alun Cempalaradya berusaha untuk bertahan dalam teriknya matahari. Karena bagi mereka sayembara perang tanding ini lebih menarik dan lebih menegangkan dibangdingkan dengan sayembara memanah. Panggung sayembara kembali menjadi pusat perhatian. Gandamana berdiri kokoh di atas kedua kakinya yang kokoh pula. Satu persatu peserta sayembara perang tanding telah dikalahkan. Sorak-sorai dan tepuk tangan tak henti-hentinya menyambut kemenangan Gandamana.

Menyaksikan kesaktian Gandamana, peserta sayembara semakin tergetar hatinya. Banyak diantara mereka telah mengurungkan niatnya untuk mengikuti sayembara. Mereka memutuskan untuk menjadi penonton saja. Oleh karenanya beberapa waktu ditunggu tak juga ada peserta baru yang mencoba naik ke atas panggung dengan muka tengadah dan dada membusung.

Udara yang panas menjadi semakin panas. Orang-orang mulai berteriak tak sabar menanti calon lawan Gandamana yang baru. Dalam situasi yang demikian, terlintas di pikiran Gandamana, adakah seseorang yang mampu memenangkan sayembara dengan mengalahkan diriku? Jika tidak ada artinya bahwa diantara lautan manusia itu tidak ada orang yang pantas menjadi pendamping Durpadi. Tetapi jika pun ada sesorang yang mampu mengalahkan aku, tentunya aku berharap agar Durpadi mau mengakui kemenangannya dan bersedia menjadi isterinya. Karena jika Durpadi menolaknya, seperti yang telah dilakukan kepada pemuda rupawan dari kalangan sudra, aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi, karena aku sudah dikalahkan bahkan bisa juga aku telah gugur.
Namun jika pun aku benar-benar gugur dalam sayembara ini, aku telah siap. Aku tidak akan menyesal. Karena itu artinya bahwa aku telah mengorbankan diri untuk Durpadi agar mendapat calon pendamping yang pantas dan berkualitas. Dan juga demi kebesaran negara Pancalaradya atau Cempalaradya.

Jika pun aku sudah tidak diberi waktu lagi untuk mengabdi, aku sadar bahwa diriku menjadi semakin renta dan ringkih. Aku harus tahu diri untuk generasi selanjutnya yang lebih muda dan yang lebih perkasa. Oleh karenanya aku bangga jika dikalahkan oleh orang muda jujur dan sakti.

Pada saat Gandamana menyusuri jalan pikirannya, tiba-tiba melompatlah di atas panggung sosok tinggi perkasa yang memakai pakaian Brahmana. Ia bernama Bima. Banyak orang mengetahui bahwa ia datang ke tempat sayembara bersama brahmana tampan yang telah menunjukkan kesaktiannya dalam hal memanah. Maka ketika saudara brahmana tampan dan sakti tersebut naik ke atas panggung sayembara, serentak lautan manusia menyambutnya dengan teriakan dan tepuk tangan, bak suara selaksa mesin tenun yang dijalankan para wanita di padang terbuka.

Sejenak kemudian sasana menjadi hening dan tegang, mengiring langkah Bima yang semakin dekat dengan Gandamana. Bima sudah sangat mengenal Gandamana bahkan kesaktian Gandamana. Karena Bima pernah berperang melawan Gandamana sewaktu di utus Pandita Durna untuk meringkus Gandamana dan Durpada. Namun rupanya Gandamana tidak ingat lagi akan sosok yang berada di depannya. Karena Bima sengaja menyamar menjadi seorang Brahmana.

Karena hari menjelang sore, dan matahari telah bergeser semakin jauh dari titik tertinggi, Gandamana dan Bima mempunyai keinginan yang sama yaitu untuk menyelesaikan sayembara ini secepatnya. Oleh karenanya segeralah keduanya bergerak cepat dan kuat. Melihat gelagat lawannya yang percaya diri, Gandamana langsung mengetrapkan aji Bandung Bandawasa dan Aji Wungkal Bener. Sedangkan Bima menggunakan aji Angkusprana. Decak kagum dan ketegangan tersembul dari wajah-wajah mereka yang menyaksikan. Oleh karena keduanya mengetrapkan ilmu-ilmu tingkat tinggi, hampir semua orang yang menjejali alun-alun Pancalaradya tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Keduanya berkelebat sangat cepat, sehingga mata telanjang mereka tidak mampu membedakan dengan jelas antara Gandamana dan Bima.

Pertempuran paling sengit selama sayembara terjadi. Beberapa waktu berlangsung keadaan mulai berubah pelan. Aji Bandung Bandawasa yang mempunyai kekuatan sebanding dengan seribu gajah ternyata tidak lagi menjadi utuh. Hal tersebut diakibatkan oleh tenaga Gandamana yang susut dengan amat cepat. Otot-ototnya mulai kendor. Ia tidak mampu lagi mengetrapkan aji Bandung Bandawasa dengan sempurna. Demikian juga aji Wungkal Bener yang menjadi tidak efektif ketika harus berhadapan dengan Bima. Karena jika dilihat dari sifatnya, aji wungkal bener adalah aji yang berpihak pada bebener. Seseorang yang dapat mengetrapkan aji Wungkal Bener dengan sempurna adalah orang benar, dan meyakini kebenaran tersebut. Aji Wungkal Bener menjadi sangat efektif ketika lawan Gandamana adalah orang yang menentang kebenaran. Maka ketika berperang melawan Bima, seseorang yang berpihak pada kebenaran, aji Wungkal Bener ibarat ketemu batunya. Tidak dapat berbuat banyak.

Sebaliknya Bima, dengan ajian Angkusprana yang mampu menghimpun kekuatan angin, justru dapat bergerak semakin ringan dan bertenaga semakin perkasa. Gandamana mulai curiga atas lawannya. Siapakah sesungguhnya orang gagah perkasa yang memakai pakaian brahmana ini. Benarkah ia seorang Brahmana? Gandamana yang sudah berumur, sedikit teringat akan sepak terjang lawan yang dihadapi. Dahulu Gandamana pernah dikalahkan Bima, namun waktu itu Gandamana tidak dengan sungguh-sungguh berperang melawan Bima. Dan juga waktu itu tenaganya masih cukup perkasa. Namun kini aku tidak seperkasa dahulu lagi dan lawan yang aku hadapi lebih perkasa dibandingkan dengan BIma waktu itu. Tetapi ada kemiripan dalam hal sepak terjangnya. Apakah Brahmana ini Bima yang semakin matang? Benarkah engkau cucuku Bima? Jika benar aku lega dan bahagia. Lega karena gugur di tangan anak Prabu Pandu. Bahagia karena Durpadi mendapat pendamping yang pantas dan luhur.

Gandamana mendapat firasat bahwa inilah saatnya untuk meninggalkan segala-galanya dan meletakkan tugas-tugasnya. Generasi baru telah siap menggantikan darmanya. Dan ia yang menggantikan bukan orang lain. Ia adalah cucunya sendiri, anak Prabu Pandudewanata junjungannya. Oleh krena ia rela gugur di tangan Bima. Dan bahkan Gandamana akan mewariskan ilmu Wungkal Bener dan Bandung Bandawasa kepada Bima.

 Sayembara perang tanding di Negara Cempalaradya masih berlangsung. Seorang brahmana yang mendapat kesempatan naik di panggung sayembara dan berhadapan dengan Gandamana bukanlah orang sembarangan. Ia mampu mengimbangi kesaktian Gandamana. Bahkan ilmu Wungkal Bener dan Aji Bandung Bandawasa yang menjadi andalan Gandamana tidak mampu membendung serangan lawannya. Oleh karenanya Gandamana mulai terdesak. Apalagi secara fisik umur Gandamana jauh berada di atas lawannya, sehingga daya tahannya susut dengan lebih cepat.

Lautan manusia yang masih bertahan di alun-alun menyaksikan bahwa Gandamana yang gagah perkasa dan sakti mandraguna semakin terdesak oleh lawannya. Perasaan para penonton dibawa ke dalam suasana tegang yang semakin memuncak. Tinggal menunggu saatnya, Gandamana terkapar di atas panggung sayembara yang dibuatnya sendiri.

Gandamana semakin yakin bahwa lawannya yang perkasa ini adalah Bima, anak Pandudewanata. Namun walau pun tahu bahwa yang menyamar sebagai barahmana itu adalah Bima, Gandamana tidak akan menghentikan perang tanding ini. Ia bertekad untuk menyelesaikannya. Walau pada akhirnya ia sendiri yang akan diselesaikan oleh Bima, Gandamana sudah siap.

Firasat yang dirasakan Gandamana semakin kuat bahwa inilah saatnya, sampai pada waktunya untuk melepaskan tugas pengabdianya untuk selamanya. Gandamana diingatkan saat saat kegetiran masalalu. Ia tidak pernah menemukan kebahagiaan dalam kedudukkan sebagai patih. Saat Gandamana menjadi patih Hastinapura, ia diperintahkan untuk maju perang melawan negara Pringgandani. Di tengah medan perang Gandamana dijebak di dalam luweng oleh Trigantalpati dan ditimbun tanah. Trigantalpati kemudian melaporkan kepada Prabu Pandudewanata bahwa Gandamana ditawan musuh dan dibunuh. Prabu Pandudewanata kemudian mengangkat Trigantalpati menjadi Patih Hastinapura menggantikan Gandamana.
Gandamana teringat akan masa-masa pengabdianya di negara Hastinapura di bawah pemerintahan Prabu Pandudewanata, aku sengaja dicelakai, dijerumuskan. Aku dikubur hidup-hidup. Semuanya menjadi gelap aku tidak ingat apa-apa.

Syukurlah bahwasannya maut belum mau memelukku. Aku berhasil diselamatkan oleh Yamawidura. Kesehatanku berangsur-angsur menjadi baik. Namun aku belum mampu mengingat awal mula peristiwa yang menimpaku sebelum semuanya menjadi gelap.

Setelah aku pulih aku berniat kembali ke Hastinapura untuk mengemban tanggung jawabku sebagai patih yang beberapa waktu aku tinggalkan. Yamawidura berpesan agar aku tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Karena hal itu tidak bakal menyelesaikan masalah, tetapi justru sebaliknya akan menimbulkan masalah baru yang tak berkesudahan seperti lingkaran setan. Aku pun setuju dengan apa yang diutarakan Yamawidura. Namun untuk apa hal itu harus dipesankan kepadaku ketika aku akan kembali ke Hastinapura? Ada apa dibalik pesan itu? Aku tahu bahwa Yamawidura adalah adik prabu Pandu yang bijaksana. Ia mempunyai ketajaman batin yang mampu melihat masa depan dengan tepat. Oleh karenanya aku ingin segera kembali ke Hastinapura untuk mengetahui kejadian apa yang bakal terjadi berkaitan dengan pesan Yamawidura.

Setibanya di Hastinapura Gandamana lupa akan pesan Yamawidura. Pikirannya hanya tertuju kepada jabatan patih yang ia tinggalkan. Ada kekawatiran pada dirinya bahwa Prabu Pandudewanata kerepotan mengatur jalannya pemerintahan tanpa kehadiran dirinya. Namun ternyata kekawatiran Gandamana tinggalah kekawatiran yang tidak untuk siapa-siapa kecuali untuk dirinya sendiri. Hastinapura tidak kacau, dan Prabu Pandudewanata tidak repot. Semuanya baik-baik saja. Jabatan patih yang ditinggal Gandamana telah diisi oleh Trigantalpati. Gandamana naik pitam. Darahnya mengalir sangat cepat disekujur badannya. Pada saat pasowann agung, Trigantalpati diseret keluar oleh Gandamana lalu dihajarnya hingga wajah dan badannya mengalami cacat seumur hidup. Tindakan Gandamana dicela oleh Prabu Pandudewanata, dianggap merendahkan martabat raja. Gandamana diusir dari bumi Hastinapura dan kembali ke Pancalaradya. Di Pancalaradya Gandamana diangkat menjadi Patih oleh Prabu Durpada kakaknya. Peristiwa lama terulang kembali. Gandamana menghajar Kumbayana hingga menderita cacat seumur hidup.

Gandamana termenung dalam. Kedudukan Patih tidaklah memberikan kebahagiaan, tetapi justru kegetiran. Pengabdian yang tulus tidaklah cukup, tetapi jperlu disertai dengan kewaspadaan terhadap lawan lawan politiknya. Gandamana tidak memikirkan itu. baginya jabatan patih adalah tanda dan sarana untuk mengabdi negara dan melayani rakyat. Dan Gandamana telah melakukannya dengan baik. Walau hasilnya adalah kegetiran.

Namun kali ini perang tanding melawan cucunya bukanlah sebuah kegetiran. Demikian pula jika harus mati ditangan cucunya. Blesss. Bersamaan dengan selesainya permenungan Gandamana, Kuku Pancanaka ditangan Bima telah menembus dadanya.

 Gandamana meninggalkan semuanya termasuk jabatan Patih. 
Tidak adal lagi kegetiran, ia beristirahat dalam damai abadi 
(gmbr: herjaka HS)
 
Gandamana mengeluh lirih. Pusaka pancanaka yang berujud kuku dengan lembut telah melesak di dadanya. Benarlah apa yang diduga sebelumnya bahwa seorang berpakaian brahmana yang menjadi lawannya adalah Bima, salah seorang trah Bayu yang mempunyai pusaka andalan pancanaka. Gandamana telah terluka, namun tidak ada rasa sakit di tubuhnya. Ia masih mencoba untuk berdiri gagah dan tegar, namun usahanya tidak berhasil bahkan badannya yang tegap mulai menjadi lunglai. Pandangannya menjadi redup dan kabur. Ia merangkul Bima agar tidak jatuh terjerembab. Bima menyambutnya dengan keharuan. Ada banyak kesamaan diantara keduanya. Bima dan Gandamana adalah orang yang berwatak jujur, prasaja sederhana apa adanya dan mempunyai ketulusan dalam menjalankan tugas.

Oleh karena pengabdiannya yang tulus, Gandamana tidak merasa sakit di hatinya juga di sakit di tubuhnya ketika Kuku Bima melesak di dadanya dalam perang tanding sayembara. Ketulusan hati Gandamana itulah yang membuat cara memandang sebuah kematian pada saat menjalankan tugas negara berbeda dengan cara padang pada umumnya. Bagi Gandamana mati dalam tugas di medan laga adalah indah dan mulia. Indah karena ia telah menyelesaiakan tugasnya dengan baik dan sempurna. Mulia karena ia gugur pada saat menjalankan tugas. Kematian seperti yang dialami Gandamana juga dirasa merupakan pembebasan dari kegetiran yang selama ini menerpa hidup Gandamana, berkaitan dengan jabatan Patih.

Demikian pulalah Bima. dengan tulus ia menjalani tugas yang diberikan oleh eyang Begawan Abiyasa untuk mengikuti sayembara di Pancalaradya demi kakaknya Puntadewa. Jika sayembara dalam hal memanah yang ditugaskan untuk maju adalah Arjuna. Sedangkan jika sayembara berupa perang tanding maka Bima lah yang ditugaskan untuk mengikuti sayembara. Maka ketika sayembara yang semula diadakan adalah sayembara memanah dan kemudian diteruskan dengan sayembara perang tanding maka Bima lah yang bertugas naik ke panggung sayembara berhadapan melawan Gandamana eyangnya.

Sebagai seorang ksatria dalam arena perang tanding menang adalah merupakan pilihan. Dan Bima berhasil memenangkannya, dengan melesakkan pancanaka di dada Gandamana. Tidak ada sakit hati dan kebencian di sana. Yang terjadi adalah ketulusan dalam menjalanan tugas. Walaupun pada akhirnya keduanya mendapatkan hasil yang berbeda, Gandamana dan Bima telah menyelesaikan tugasnya dengan tuntas. Keduanya adalah pahlawan. Bima menjadi pahlawan dikarenakan telah memenangkan peperangan. Sedangkan Gandamana menjadi pahlawan karena ia gugur dalam tugasnya di medan perang.

Bima mendekap erat tubuh Gandamana yang mulai dingin dan lemas. Dengan tenaga yang masih tersisa Gandamana mencoba menyambut hangat dekapan Bima. Bima meneteskan air mata. Dengan terbata-bata Bima berkata “maafkan aku Eyang, maafkan.” Gandamana mengangguk-angguk. Tangannya bergetar lemah membelai kepala Bima untuk yang terakhir kali. Bibirnya mengulum senyum tipis tanda kebanggaan atas sebuah pribadi yang jujur, berani, teguh, tangguh dan tulus yang dimiliki oleh Bima cucunya.

Berada dalam pelukan Bima, Gandamana merasa tenang dan tentram untuk mengakhiri pengabdiannya, bahkan untuk mengakhiri hidupnya. Bima memperkokoh posisi kakinya agar kuat menyangga tubuh Gandamana yang semakin berat. Kesadaran Gandamana berangsur-angsur surut seiring dengan melemahnya detak jantung dan melambatnya aliran darah. Namun pada sisa kesadaran yang paling akhir Gandamana berniat melepaskan dua aji andalannya yaitu wungkal bener dan bandung bandawasa dan mewariskannya kepada Bima. Gandamana percaya bahwa Bima dapat menggunakan kedua ilmu sakti tersebut untuk memayu-hayuning bawana.

Panggung sayembara hening. Demikian pula lautan manusia yang berada di alun-alun Pancalaradya. Semuanya diam. Bahkan angin pun berhenti bertiup untuk sesaat. Semua memberi penghormatan terakhir kepada Gandamana sang pahlawan Pancalaradya.

Bersamaan berhentinya nafas Gandamana, matanya menutup untuk selamanya. Tidak ada tugas lagi yang diembannya. Ia beritirahat dalam damai

Ana tangis
rayung-rayung
tangise wong wedi mati
gedhongana
kuncenana
wong mati mangsa wurunga.

Ada tangis
mengharukan
tangisnya orang yang takut mati
walaupun di masukan di gedung
dan dikunci
orang mati tidak mungkin dibatalkan

Gandamana telah mati. Gugur di medan laga. Namun semangat pengabdiannya, keberanian dan kejujuran serta ketulusan hatinya juga kesaktiannya telah diwarisi oleh Bima orang nomor dua dari Pandawa Lima, anak Prabu Panndudewanata.

herjaka HS
 Bimapun memenangkan sayembara, tapi Drupadi tidak menikah dengan Bima, melainkan dengan Yudistira.
LihatTutupKomentar