Seiring putaran waktu, kini para putra Wisrawa telah kian tumbuh dewasa. Putra tertua bernama Rahwana bertubuh tinggi besar berwujud raksasa yang mukanya bisa berubah menjadi sepuluh muka (dasamuka) jika ia marah, kedua adalah Kumbakarna berwujud raksasa yang sangat besar tubuhnya melebihi besarnya tubuh Rahwana, ketiga Sarpakaneka berwujud raseksi (rasaksa perempuan), dan yang bungsu adalah Gunawan Wibisana berwujud kesatria tampan. Keempatnya tumbuh dipelihara dan dididik oleh paman mereka, Prahasta.
Prahasta adalah seorang raksasa yang bijaksana, ia sangat menyayangi keponakan-keponakannya, tidak ada yang dibeda-bedakan kasih sayang yang diberikan Prahasta kepada mereka, semuanya sama.
Suatu hari ayah Prahasta, Begawan Sumali menyuruh cucu-cucunya untuk melakukan tapa brata di gunung Gohkarna. Ia Berharap cucu-cucunya kelak akan menjadi kesatria-kesatria mumpuni yang bisa dibanggakan oleh negara dan bangsanya, maka berangkatlah ke-empatnya menuju gunung Gohkarna. Disana mereka memilih tempat masing untuk melakukan tapa brata. Cara bertapa mereka tidak sama, Rahwana bertapa sambil berdiri dengan kaki sebelah diangkat ke atas, tangannya yang satu diangkat ke atas menengadah ke langit dan tangan yang satunya lagi disilang di depan dada. Kumbakarna melakukan tapa brata dengan cara tidur, tubuhnya yang besar menyerupai besarnya bukit terbujur diantara lembah gunung Gohkarna. Sarpakaneka bertapa dengan cara menjungkir badannya hingga kepalanya di bawah dan kakinya di atas, sedangkan Gunawan Wibisana melakukan tapa brata dengan cara layaknya para kesatria, sidakep sinuku tunggal. Selama puluhan tahun para putra Wisrawa dengan tekun melakukan mati raga, dan ketika menginjak waktu yang kelima puluh tahun, Candradimuka mengguncang hebat.
Kawah panas Candradimuka menggelegar-gelegar membuncahkan laharnya, batu pijar dan panasnya api lahar berhamburan, asap hitam membaur menaungi puncak Tengguru, kahyangan Suralaya diliputi awan hitam pekat. Para batara dan batari, para dewa dan para dewi penghuni kahyangan menjerit panik dengan kejadian alam Candradimuka yang tidak bersahabat.
Batara Narada menanyakan kepada Batara Guru tentang tanda-tanda yang tengah di-isyaratkan oleh Candradimuka sehingga bergolak hebat, membuat para penghuni kahyangan menjadi ketakutan.
Dengan menggunakan pusaka Gambarlopian, Batara Guru menjelaskan sumber perkara tersebut, bahwasanya Candradimuka telah dikagetkan oleh tapa brata dari ke-empat putra Wisrawa di gunung Gohkarna, namun Batara Guru sendiri tidak tahu apa yang menjadi keinginan para putra Wisrawa hingga melakukan mati raga sedemikian hebat. Untuk itu, Batara Guru mengajak Batara Narada untuk menemui mereka, menanyakan langsung maksud dan tujuan mereka melakukan tapa brata.
Di puncak gunung Gohkarna, gunung wingit yang tidak pernah dijamah oleh manusia, Batara Guru dan Batara Narada menemui salah seorang putra Wisrawa, Rahwana. Selama lima puluh tahun matanya tertutup, raganya terkunci dan kini mata itu terbuka membelalak, mengamati dua orang yang telah menggugahnya dari tapa brata. Setelah tahu bahwa dihadapannya adalah Sanghyang Tengguru dari kahyangan Suralaya, dan ketika raja dari para dewa itu menanyakan hal apa yang menjadi keinginannya hingga mau melakukan mati raga selama berpuluh-puluh tahun, Rahwana mengajukan permintaan. Ia ingin memiliki kesaktian dan kedigjayaan melebihi siapa pun para penghuni marcapada, tidak dapat dikalahkan oleh para penghuni di dasar bumi, baik jin atau siluman, manusia bahkan para dewa di kahyangan. Bukan hanya itu, ia juga ingin bisa bertiwikrama menjadi sebesar gunung Gohkarna, dan minta agar umurnya dipanjangkan selama se-umur seribu gajah, seribu perkutut, seribu naga, dan sepanjang umur tujuh zaman.
Permintaan Rahwana disetujui oleh Batara Guru walau Batara Narada sendiri sempat mengingatkan akan datangnya ke-angkara murka-an yang akan merusak tatanan marcapada dihari depannya nanti bila keinginan Rahwana dipenuhi.
Selanjutnya Batara Guru dan Batara Narada menemui Kumbakarna yang sedang bertapa tidur di lembah Gohkarna. Batara Guru menggugahnya dan menanyakan keinginan Kumbakarna. Putra kedua resi Wsirawa tidak menginginkan apa-apa, ia tidak ingin meminta segala kesaktian karena ia merasa tidak mempunyai musuh di marcapada, ia hanya ingin bisa tertidur nyenyak, makan, dan segala hal kenikmatan yang menjadi kesukaannya, sebab dengan makan dan tidur hidupnya sudah merasa nyaman tanpa harus mengganggu ketentraman hidup orang lain. Batara Guru memenuhi permintaan Kumbakarna. Ia memberikan rasa kantuk yang berkepanjangan kepada putra kedua Wisrawa.
Di tempat terpisah masih dari bagian lereng gunung Gohkarna, Batara Guru dan Batara Narada membangunkan Sarpakaneka. Anak ketiga Wisrawa yang berwujud raksesi (raksasa wanita) meminta diberi kesaktian dan kekuatan yang setaraf dengan para dewa, dan diberi kenikmatan-kenikmatan dunia, dipenuhi segala nafsunya terutama syahwatnya.
Dan ketika Batara Guru menggugah Gunawan Wibisana, putra keempat begawan Wisrawa ini tidak meminta kesaktian, ia hanya minta diberi kebijaksanaan dan senantiasa selalu berada dijalan kebenaran atau dharma.