-->

Kebijakan Pemerintah Kolonial Dan Pengaruhnya Di Indonesia

Hallo Agan…Apa saja yang dialami bangsa Indonesia pada masa penjajahan? Pemerintah kolonial menerapkan kebijakan yang merugikan bangsa Indonesia. Akibatnya bangsa Indonesia melaksanakan perlawanan untuk mengusir penjajah. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan pemerintah kolonial terhadap bangsa Indonesia, mari telusuri kajian berikut ini!
sebelum membaca lagi langkah baiknya jikalau agan baca dulu: 
Latar Belakang dan Proses datangnya bangsa barat ke indoensia agar sanggup lebih paham dengan yang di bahas.

1. Kebijakan Pemerintah Kolonial Portugis 

Kekuasaan Portugis di Maluku berlangsung cukup lama, sekitar tahun 1512 hingga 1641. Kebijakan-kebijakan yang dipraktikkan selama itu sangat kuat terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Berikut ini merupakan banyak sekali kebijakan pemerintah kolonial Portugis.

a. Berusaha menanamkan kekuasaan di Maluku.
b. Menyebarkan agama Kristen di daerah-daerah yang dikuasai.
c. Mengembangkan bahasa dan seni musik keroncong Portugis.
d. Sistem monopoli perdagangan cengkih dan pala di Ternate.

Dengan kebijakan ini, petani Ternate tidak lagi mempunyai kebebasan untuk menjual atau memilih harga hasil panennya. Mereka harus menjual hasil panennya hanya kepada Portugis dengan harga yang ditentukan oleh Portugis. Akibatnya, petani sangat dirugikan, dan Portugis memperoleh laba yang sangat besar. Pengaruh dari kebijakan ini ternyata tertanam pada rakyat Indonesia khususnya rakyat Maluku. Ada yang bersifat negatif dan ada yang positif. Berikut ini banyak sekali dampak yang ditimbulkan dari kebijakan-kebijakan Portugis.

a. Terganggu dan kacaunya jaringan perdagangan.

b. Banyaknya orang-orang beragama Kristen di tempat pendudukan Portugis.

c. Rakyat menjadi miskin dan menderita.

d. Tumbuh benih rasa benci terhadap kekejaman Portugis.

e. Munculnya rasa persatuan dan kesatuan rakyat Maluku untuk menentang Portugis.

f. Bahasa Portugis turut memperkaya perbendaharaan kata/ kosakata dan nama keluarga ibarat da Costa, Dias, de Fretes, Mendosa, Gonzalves, da Silva, dan lain-lain.

g. Seni musik keroncong yang populer di Indonesia sebagai peninggalan Portugis yakni keroncong Morisco.

h. Banyak peninggalan arsitektur yang bercorak Portugis dan senjata api/meriam di tempat pendudukan.

Kekuasaan Spanyol yang sempat menjalin relasi dengan Tidore tidak mempunyai dampak yang berarti. Mengingat Spanyol segera meninggalkan Tidore alasannya terbentur Perjanjian Zaragosa.


2. Kebijakan VOC

Salah satu kunci keberhasilan VOC yakni sifatnya yang gampang menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada di sekitarnya. Kebijakannya sanggup dikatakan kelanjutan atau tiruan dari sistem yang telah dilakukan oleh para penguasa lokal. VOC secara cerdik memakai forum dan aturan-aturan yang telah ada di dalam masyarakat lokal untuk menjalankan roda compagnienya. VOC hanya menjalin relasi dengan golongan raja atau bangsawan, dan merasa cukup sehabis raja dan aristokrat tunduk kepada mereka.

VOC beranggapan tidak ada gunanya bekerja sama dengan rakyat alasannya jikalau rajanya sudah tunduk, maka rakyatnya akan tunduk pula. Untuk mengisi kasnya yang kosong, VOC menerapkan sejumlah kebijakan ibarat hak monopoli, penyerahan wajib, penanaman wajib, dan tenaga kerja wajib yang tolong-menolong telah menjadi cuilan dari struktur dan kultur yang telah ada sebelumnya.

 Penyerahan wajib (Verplichte Leverantie) mewajibkan rakyat Indonesia di tiaptiap tempat untuk menyerahkan hasil bumi berupa lada, kayu, beras, kapas, kapas, nila, dan gula kepada VOC. Dalam upaya memperlancar kegiatan organisasi, pada tahun 1610 VOC memutuskan untuk membentuk jabatan Gubernur Jenderal yang pada waktu itu berkedudukan di Maluku. Pieter Both orang pertama yang menduduki posisi itu. VOC dibuat pada tanggal 20 Maret 1602 oleh van Oldenbarnevelt. VOC dibuat dengan tujuan untuk menghindari persaingan di antara perusahaan dagang Belanda dan memperkuat diri semoga sanggup bersaing dengan perusahaan dagang negara lain, ibarat Portugis dan Inggris. Oleh pemerintah Kerajaan Belanda, VOC diberi hak-hak istimewa yang dikenal dengan nama hak oktroi, seperti:

a. hak monopoli,
b. hak untuk menciptakan uang,
c. hak untuk mendirikan benteng,
d. hak untuk melaksanakan perjanjian dengan kerajaan di Indonesia
f. hak untuk membentuk tentara.

Dengan adanya hak oktroi tersebut, bangsa Indonesia mengalami kerugian dan penderitaan. Tindakan VOC sangat sewenang-wenang dan tidak memerhatikan kepentingan rakyat Indonesia.

Untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, VOC menerapkan hak monopoli, menguasai pelabuhan-pelabuhan penting dan membangun benteng-benteng. Benteng-benteng yang dibangun VOC antara lain:

a. di Banten disebut benteng Kota Intan (Fort Speelwijk),
b. di Ambon disebut benteng Victoria,
c. di Makassar disebut benteng Rotterdam,
d. di Ternate disebut benteng Orange, dan
e. di Banda disebut benteng Nasao.

Dengan keunggulan senjata, serta memanfaatkan konflik di antara penguasa lokal (kerajaan), VOC berhasil memonopoli perdagangan pala dan cengkih di Maluku. Satu per satu kerajaankerajaan di Indonesia dikuasai VOC. Kebijakan ekspansif (menguasai) semakin gencar diwujudkan ketika Jan Pieterzoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal menggantikan Pieter Both pada tahun 1617. Pada masa pemerintahan Coen terjadi kontradiksi antara Inggris dan Belanda (VOC) untuk memperebutkan sentra perdagangan di Jayakarta. Pertentangan tersebut dimenangkan oleh Belanda (VOC) sehabis menerima pinjaman dari Pangeran Arya Ranamenggala dari Banten. Inggris diusir dari Jayakarta dan Pangeran Jayakarta diberhentikan sebagai penguasa Jayakarta.

Pada tanggal 12 Maret 1619, VOC secara resmi mendirikan benteng yang kemudian diberi nama Batavia. Kantor dagang VOC yang ada di Ambon, Maluku dipindahkan ke Batavia sehabis Jayakarta mengalah kepada Belanda pada tanggal 30 Mei 1619. Pada tanggal yang sama J.P. Coen mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia, sehingga hari itu dianggap sebagai hari pendirian Batavia.

Dalam upaya mempertahankan monopoli rempah-rempah di Kepulauan Maluku, VOC melaksanakan dan pelayaran Hongi (Hongi Tochten). Pelayaran Hongi yaitu pelayaran keliling memakai bahtera jenis kora-kora yang dipersenjatai untuk mengatasi perdagangan gelap atau penyelundupan rempah-rempah di Maluku. 

Pelayaran ini juga disertai hak ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tumbuhan rempah-rempah yang melebihi ketentuan. Pada tahun 1700-an, VOC berusaha menguasai daerah-daerah pedalaman yang banyak menghasilkan barang dagangan. Imperialisme pedalaman ini sasarannya Kerajaan Banten dan Mataram. Alasannya tempat ini banyak menghasilkan barang-barang komoditas ibarat beras, gula merah, jenis-jenis kacang, dan lada. Oleh alasannya itu VOC menerapkan banyak sekali macam kebijakan.

3. Kebijakan Pemerintah Kerajaan Belanda (Republik Bataafsche)


Apa saja yang dialami bangsa Indonesia pada masa penjajahan Kebijakan Pemerintah Kolonial dan Pengaruhnya di Indonesia
peta jalan dari anyer hingga panarukan.

Kebijakan pemerintah Kerajaan Belanda yang dikendalikan oleh Prancis sangat kentara pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808 – 1811). Kebijakan yang diambil Daendels sangat berkaitan dengan kiprah utamanya yaitu untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris.

Dalam upaya mempertahankan Pulau Jawa, Daendels melaksanakan hal-hal berikut.

a. Membangun ketentaraan, pendirian tangsi-tangsi/ benteng, pabrik mesiu/senjata di Semarang dan Surabaya serta rumah sakit tentara.
b. Membuat jalan pos dari Anyer hingga Panarukan dengan panjang sekitar 1.000 km.
c. Membangun pelabuhan di Anyer dan Ujung Kulon untuk kepentingan perang.
d. Memberlakukan kerja rodi atau kerja paksa untuk membangun pangkalan tentara.

Berikut ini kebijakan-kebijakan yang diberlakukan Daendels terhadap kehidupan rakyat.

a. Semua pegawai pemerintah mendapatkan honor tetap dan mereka dihentikan melaksanakan kegiatan perdagangan.
b. Melarang penyewaan desa, kecuali untuk memproduksi gula, garam, dan sarang burung.
c. Melaksanakan contingenten yaitu pajak dengan penyerahan hasil bumi.
d. Menetapkan verplichte leverantie, kewajiban menjual hasil bumi hanya kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan.
e. Menerapkan sistem kerja paksa (rodi) dan membangun ketentaraan dengan melatih orang-orang pribumi.
f. Membangun jalan pos dari Anyer hingga Panarukan sebagai dasar pertimbangan pertahanan.
g. Membangun pelabuhan-pelabuhan dan menciptakan kapal perang berukuran kecil.
h. Melakukan penjualan tanah rakyat kepada pihak swasta (asing).
i. Mewajibkan Prianger stelsel, yaitu kewajiban rakyat Priangan untuk menanam kopi.

Dalam melaksanakan pemerintahannya di Indonesia, Daendels memberantas sistem feodal yang sangat diperkuat VOC. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, hak-hak bupati mulai dibatasi terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan pemakaian tenaga rakyat. Selama memerintah, Daendels dikenal sebagai gubernur jenderal yang “bertangan besi”. Ia memerintah dengan menerapkan disiplin tinggi, keras, dan kejam. Bagi rakyat atau penguasa lokal yang tertangkap lembap membangkang, Daendels tidak segan-segan memberi hukuman.

Hal ini sanggup dibuktikan ketika Daendels menjalankan kerja rodi untuk membangun jalan raya Anyer - Panarukan sepanjang 1.000 km. Dalam pembangunan tersebut, rakyat dipaksa kerja keras tanpa diberi upah atau makanan, dan apabila rakyat tertangkap lembap melarikan diri akan ditangkap dan disiksa. Rakyat sangat menderita. Pengaruh kebijakan pemerintah kerajaan yang diterapkan oleh Daendels sangat berbekas dibanding penggantinya, Gubernur Jenderal Janssens yang lemah. Langkah-langkah kebijakan Daendels yang memeras dan menindas rakyat menimbulkan:

a. kebencian yang mendalam baik dari kalangan penguasa daerah maupun rakyat,
b. munculnya tanah-tanah partikelir yang dikelola oleh pengusaha swasta,
c. pertentangan/perlawanan penguasa maupun rakyat,
d. kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan, serta
e. pencopotan Daendels.

Pada tahun 1810, Kaisar Napoleon menganggap bahwa tindakan Daendels sangat otoriter. Pada tahun 1811 Daendels ia ditarik kembali ke negeri Belanda dan digantikan oleh Gubernur Jenderal Janssens. Ternyata Janssens tidak secakap dan sekuat Daendels dalam melaksanakan tugasnya. Ketika Inggris menyerang Pulau Jawa, ia mengalah dan harus menandatangani perjanjian di Tuntang pada tanggal 17 September 1811. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama Kapitulasi Tuntang, yang berisi sebagai berikut.

a. Seluruh militer Belanda yang berada di wilayah Asia Timur harus diserahkan kepada Inggris dan menjadi tawanan militer Inggris.
b. Hutang pemerintah Belanda tidak diakui oleh Inggris.
c. Pulau Jawa dan Madura serta semua pelabuhan Belanda di luar Jawa menjadi tempat kekuasaan Inggris (EIC).

4. Kebijakan Pemerintah Kolonial Inggris

Peristiwa Belanda mengalah kepada Inggris melalui Kapitulasi Tuntang (1811), menjadi awal pendudukan kolonial Inggris di Indonesia. Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Letnan Gubernur EIC di Indonesia. Ia memegang pemerintahan selama lima tahun (1811-1816) dengan membawa perubahan berasas liberal. Pendudukan Inggris atas wilayah Indonesia tidak berbeda dengan penjajahan bangsa Eropa lainnya. Raffles banyak mengadakan perubahan-perubahan, baik di bidang ekonomi maupun pemerintahan.

 Raffles bermaksud menerapkan politik colonial ibarat yang dijalankan oleh Inggris di India. Kebijakan Daendels yang dikenal dengan nama Contingenten diganti dengan sistem sewa tanah (Landrent). Sistem sewa tanah disebut juga sistem pajak tanah. Rakyat atau para petani harus membayar pajak sebagai uang sewa, alasannya semua tanah dianggap milik negara.

 Berikut ini pokok-pokok sistem Landrent.
a. Penyerahan wajib dan wajib kerja dihapuskan.
b. Hasil pertanian dipungut eksklusif oleh pemerintah tanpa mediator bupati.
c. Rakyat harus menyewa tanah dan membayar pajak kepada pemerintah sebagai pemilik tanah.

Pemerintahan Raffles didasarkan atas prinsip-prinsip liberal yang hendak mewujudkan kebebasan dan kepastian hukum. Prinsip kebebasan meliputi kebebasan menanam dan kebebasan perdagangan. Kesejahteraan hendak dicapainya dengan menunjukkan kebebasan dan jaminan aturan kepada rakyat sehingga tidak menjadi korban kesewenang-wenangan para penguasa. Dalam pelaksanaannya, sistem Landrent di Indonesia mengalami kegagalan, karena:

a. sulit memilih besar kecilnya pajak untuk pemilik tanah yang luasnya berbeda,
b. sulit memilih luas sempit dan tingkat kesuburan tanah,
c. terbatasnya jumlah pegawai, dan
d. masyarakat pedesaan belum terbiasa dengan sistem uang.

Tindakan yang dilakukan oleh Raffles berikutnya yakni membagi wilayah Jawa menjadi 16 tempat karesidenan. Hal ini mengandung maksud untuk mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap daerah-daerah yang dikuasai. Setiap karesidenan dikepalai oleh seorang residen dan dibantu oleh ajun residen. Di samping itu Thomas Stamford Raffles juga memberi sumbangan positif bagi Indonesia yaitu:

a. membentuk susunan gres dalam pengadilan yang didasarkan pengadilan Inggris,
b. menulis buku yang berjudul History of Java
c. menemukan bunga Rafflesia-arnoldii, dan
d. merintis adanya Kebun Raya Bogor.

Perubahan politik yang terjadi di Eropa mengakhiri pemerintahan Raffles di Indonesia. Pada tahun 1814, Napoleon Bonaparte alhasil mengalah kepada Inggris. Belanda lepas dari kendali Prancis. Hubungan antara Belanda dan Inggris tolong-menolong akur, dan mereka mengadakan pertemuan di London, Inggris. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan yang tertuang dalam Convention of London 1814. Isinya Belanda memperoleh kembali tempat jajahannya yang dulu direbut Inggris. Status Indonesia dikembalikan sebagaimana dulu
sebelum perang, yaitu di bawah kekuasaan Belanda. Penyerahan wilayah Hindia Belanda dari Inggris kepada Belanda berlangsung di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1816. Inggris diwakili oleh John Fendall dan Belanda diwakili oleh Mr. Ellout, van der Capellen, dan Buyskes.


5. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda

Setelah Indonesia kembali di bawah pemerintah kolonial Belanda, pemerintahan dipegang oleh Komisaris Jenderal. Komisaris ini terdiri dari Komisaris Jenderal Ellout, dan Buyskes yang konservatif, serta Komisaris Jenderal van der Capellen yang beraliran liberal. Untuk selanjutnya pemerintahanan di Indonesia dipegang oleh golongan liberal di bawah pimpinan Komisaris Jenderal van der Capellen (1817 - 1830). Selama memerintah, van der Capellen berusaha mengeruk laba sebanyak-banyaknya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membayar hutanghutang Belanda yang cukup besar selama perang. Kebijakan yang diambil yakni dengan meneruskan kebijakan Raffles yaitu menyewakan tanah-tanah terutama kepada aristokrat Eropa. Oleh kalangan konservatif seiring dengan kesulitan ekonomi yang menimpa Belanda, kebijakan ekonomi liberal dianggap gagal. Dalam perkembangannya, kaum konservatif dan liberal silih berganti mendominasi DPR dan pemerintahan. Keadaan ini berdampak kebijakan di Indonesia sebagai tanah jajahan juga silih berganti mengikuti kebijakan yang ada di Belanda.

a. Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa

Kegagalan van der Capellen mengakibatkan jatuhnya kaum liberal, sehingga mengakibatkan pemerintahan didominasi kaum konservatif. Gubernur Jenderal van den Bosch, menerapkan kebijakan politik dan ekonomi konservatif di Indonesia. 

Pada tahun 1830 mulai diterapkan aturan kerja rodi (kerja paksa) yang disebut Cultuurstelsel. Cultuurstelsel dalam bahasa Inggris yakni Cultivation System yang mempunyai arti sistem tanam. Namun di Indonesia cultuurstelsel lebih dikenal dengan istilah tanam paksa. Ini cukup beralasan diartikan ibarat itu alasannya dalam praktiknya rakyat dipaksa untuk bekerja dan menanam tumbuhan wajib tanpa menerima imbalan. Tanaman wajib yakni tumbuhan perdagangan yang laris di dunia internasional ibarat kopi, teh, lada, kina, dan tembakaw. Cultuurstelsel diberlakukan dengan tujuan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat. Dengan cita-cita utang-utang Belanda yang besar sanggup diatasi. Berikut ini pokok-pokok cultuurstelsel.

 Pokok-Pokok Sistem Tanam Paksa

1) Rakyat wajib menyiapkan 1/5 dari lahan garapan untuk ditanami tumbuhan wajib.
2) Lahan tumbuhan wajib bebas pajak, alasannya hasil yang disetor sebagai pajak.
3) Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak akan dikembalikan.
4) Tenaga dan waktu yang dibutuhkan untuk menggarap tumbuhan wajib, tidak boleh melebihi waktu yang dibutuhkan untuk menanam padi.
5) Rakyat yang tidak mempunyai tanah wajib bekerja selama 66 hari dalam setahun di perkebunan atau pabrik milik pemerintah.
6) Jika terjadi kerusakan atau gagal panen, menjadi tanggung jawab pemerintah.
7) Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada para penguasa pribumi (kepala desa).

Untuk mengawasi pelaksanaan tanam paksa, Belanda menyandarkan diri pada sistem tradisional dan feodal. Para bupati dipekerjakan sebagai mandor/pengawas dalam tanam paksa. Para bupati sebagai mediator tinggal meneruskan perintah dari pejabat Belanda. Kalau melihat pokok-pokok cultuurstelsel dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang baik. Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa.

1) Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.
2) Tanah yang ditanami tumbuhan wajib tetap ditarik pajak.
3) Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.
4) Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.
5) Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.

Dalam pelaksanaannya, tanam paksa banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Penyimpangan ini terjadi alasannya penguasa lokal, tergiur oleh kesepakatan Belanda yang menerapkan sistem cultuur procenten. Cultuur procenten atau prosenan tumbuhan yakni hadiah dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang sanggup menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan sempurna waktu. Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat gulung tikar dan menderita. Terjadi kelaparan yang menghebat di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849).

Kelaparan mengakibatkan maut penduduk meningkat. Adanya info kelaparan menimbulkan banyak sekali reaksi, baik dari rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda. Rakyat selalu mengadakan perlawanan tetapi tidak pernah berhasil. Penyebabnya bergerak sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak terorganisasi secara baik. Reaksi dari Belanda sendiri yaitu adanya pertentangan dari golongan liberal dan humanis terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa.


Pada tahun 1860, Edward Douwes Dekker yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Max Havelar”. Buku ini berisi wacana keadaan
pemerintahan kolonial yang bersifat menindas dan korup di Jawa. Di samping Douwes Dekker, juga ada tokoh lain yang menentang tanam paksa yaitu Baron van Hoevel, dan Fransen van de Putte yang menerbitkan artikel “Suiker Contracten” (perjanjian gula). Menghadapi banyak sekali reaksi yang ada, pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 menurut UU Landreform (UU Agraria). Meskipun tanam paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga menunjukkan dampak yang positif terhadap rakyat, yaitu:

1) terbukanya lapangan pekerjaan,
2) rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru
3) rakyat mengenal cara menanam yang baik.

b . Politik Pintu Terbuka

Pada tahun 1860-an politik batig slot (mencari laba besar) menerima kontradiksi dari golongan liberalis dan humanitaris. Kaum liberal dan kapital memperoleh kemenangan di parlemen. Terhadap tanah jajahan (Hindia Belanda), kaum liberal berusaha memperbaiki taraf kehidupan rakyat Indonesia. Keberhasilan tersebut dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870. Pokok-pokok UU Agraria tahun 1870 berisi:

1) pribumi diberi hak mempunyai tanah dan menyewakannya kepada pengusaha swasta, serta
2) pengusaha sanggup menyewa tanah dari gubernemen dalam jangka waktu 75 tahun.

Dikeluarkannya UU Agraria ini mempunyai tujuan yaitu:

1) memberi kesempatan dan jaminan kepada swasta gila (Eropa) untuk membuka perjuangan dalam bidang perkebunan di Indonesia
2) melindungi hak atas tanah penduduk semoga tidak hilang (dijual). 

UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan semoga tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah sewaan itu dimaksudkan untuk memproduksi tumbuhan yang sanggup diekspor ke Eropa. Selain UU Agraria 1870, pemerintah Belanda juga mengeluarkan Undang-Undang Gula (Suiker Wet) tahun 1870. Tujuannya yakni untuk menunjukkan kesempatan yang lebih luas kepada para pengusaha perkebunan gula. Isi dari UU ini yaitu:

1) perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap, dan
2) pada tahun 1891 semua perusahaan gula milik pemerintah harus sudah diambil alih oleh swasta.

Dengan adanya UU Agraria dan UU Gula tahun 1870, banyak swasta gila yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik dalam perjuangan perkebunan maupun pertambangan.

Berikut ini beberapa perkebunan gila yang muncul.

1) Perkebunan tembakaw di Deli, Sumatra Utara.
2) Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
3) Perkebunan kina di Jawa Barat.
4) Perkebunan karet di Sumatra Timur.
5) Perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara.
6) Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatra Utara.

Politik pintu terbuka yang diharapkan sanggup memperbaiki kesejahteraan rakyat, justru menciptakan rakyat semakin menderita. Eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian maupun tenaga manusia semakin hebat. Rakyat semakin menderita dan sengsara. Adanya UU Agraria menunjukkan dampak bagi kehidupan rakyat, ibarat berikut.

1) Dibangunnya akomodasi perhubungan dan irigasi.
2) Rakyat menderita dan miskin.
3) Rakyat mengenal sistem upah dengan uang, juga mengenal barang-barang ekspor dan impor.
4) Timbul pedagang perantara. Pedagang-pedagang tersebut pergi ke tempat pedalaman, mengumpulkan hasil pertanian dan menjualnya kepada grosir.
5) Industri atau perjuangan pribumi mati alasannya pekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik.

c . Politik Etis

Politik pintu terbuka ternyata tidak membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Van Deventer mengecam pemerintah Belanda yang tidak memisahkan keuangan negeri induk dan negeri jajahan. Kaum liberal dianggap hanya mementingkan prinsip kebebasan untuk mencari laba tanpa memerhatikan nasib rakyat. Contohnya perkebunan tebu yang mengeksploitasi tenaga rakyat secara besar-besaran. Dampak politik pintu terbuka bagi Belanda sangat besar. Negeri Belanda mencapai kemakmuran yang sangat pesat.
Sementara rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan menderita. Oleh alasannya itu, van Deventer mengajukan politik yang diperjuangkan untuk kesejahteraan rakyat. Politik ini dikenal dengan politik etis atau politik balas kebijaksanaan alasannya Belanda dianggap mempunyai hutang kebijaksanaan kepada rakyat Indonesia yang dianggap telah membantu meningkatkan kemakmuran negeri Belanda. Politik etis yang diusulkan van Deventer ada tiga hal, sehingga sering disebut Trilogi van Deventer. 

Isi Trilogi van Deventer dan Penyimpangan-Penyimpangannya

1) Irigasi (pengairan), yaitu diusahakan pembangunan irigasi untuk mengairi sawah-sawah
milik penduduk untuk membantu peningkatan kesejahteraan penduduk.

2) Edukasi (pendidikan), yaitu penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat pribumi agar
mampu menghasilkan kualitas sumber daya insan yang lebih baik.

3) Migrasi (perpindahan penduduk), yaitu perpindahan penduduk dari tempat yang padat
penduduknya (khususnya Pulau Jawa) ke tempat lain yang jarang penduduknya semoga lebih merata.

Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan
tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh
para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan tersebut.

1) Irigasi

Pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.

2) Edukasi

Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga manajemen yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada belum dewasa pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk belum dewasa pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada belum dewasa pribumi dan pada umumnya.

3) Migrasi

Migrasi ke tempat luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini alasannya adanya seruan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan ibarat perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah semoga pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale sanctie, yaitu peraturan yang memutuskan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.

Berbagai kebijakan yang diambil oleh VOC maupun pemerintah Belanda mulai dari monopoli perdagangan, penyerahan wajib, sistem tanam paksa, maupun politik pintu 
terbuka tidak membawa perubahan pada kesejahteraan rakyat. Rakyat tetap miskin dan menderita hingga pada pendudukan militer Jepang.

demikian artikel dari saya tentang Kebijakan Pemerintah Kolonial dan Pengaruhnya di Indonesia semoga bermanfaat bagi agan.

Sumber: ips kelas 8 sanusi fatah

LihatTutupKomentar